Infografis Rekapitulasi Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB) Provinsi Sulawesi Tengah Semester I Tahun 2025 | KPU Provinsi Sulawesi Tengah melaksanakan Rapat Koordinasi Sinkronisasi Validasi Pemuktahiran Data Pemilih Berkelanjutan Provinsi Sulawesi Tengah Semester I tahun 2025 | KPU Sulteng menggelar Rapat Koordinasi Pemuktahiran Data Pemilih Berkelanjutan (PPDB)

Publikasi

Opini

Oleh : Sahran Raden, Anggota KPU Provinsi Sulawesi Tengah Periode 2018-2023 Prolog Tulisan ini sebagai catatan dalam upaya  mengurai pandangan Hasyim Asy’ari berkenaan dengan  pemilu yang dilaksanakan secara konstitusional. Dalam pidato lounching tahapan pemilu  serentak 2024 pada tanggal 14 Juni 2022 di halaman kantor KPU Imam Bonjol, Hasyim Asy’ari selaku ketua KPU  dihadapan undangan yang hadir menyampaikan pandangan tentang mendefinisikan kembali makna pemilu. Pandangan nya secara teoritik melahirkan makna substansi dari penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Pandangan Hasyim Asy’ari itu selanjutnya saya akan membagikan dalam beberapa kategori untuk memaknai kembali penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Pandangan Hasyim Asy’ari ini dalam konteks kajian tokoh tidak terlepas Hasyim sebagai penyelenggara pemilu dan mendalami keilmuan hukum tata negara. Sebagai penyelenggara pemilu, Hasyim telah banyak berkiprah dan memiliki pengalaman yang luas dibidang teknis kepemiluan mulai dari KPU Provinsi dan KPU Republik Indonesia. Sebagai ilmuan dan intelektual Hasyim adalah akademisi ahli hukum tata negara dari Universitas Diponegoro Semarang. Menurut saya kedua karakteristik ini mengilhami pandangannya tentang Pemilu di Indonesia. Pemilu Reguler dan Mubes Rakyat Indonesia Setelah diundangkannya Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Program, Tahapan dan Jadwal Pemilu serentak 2024, maka KPU selajutnya melakukan peluncuran tahapan Pemilu pada hari Rabu, 14 Juni 2022, pukul 20.00.  Hasyim Asy’ari  tampil dihadapan ratusan undangan baik pejabat negara maupun KPU Provinsi se Indonesia untuk menyampaikan pidato dan orasi demokrasinya. Di tengah desain panggung yang indah dan megah itu beliau menyampaikan pidato memaknai kembali defenisi pemilu.  Salah satu yang dimaknai adalah sebagaimana diatur dalam konstitusi pasal 22E UUD 1945 ayat  (1) menyebutkan bahwa pemilihan umum  dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. Pasal konsitusional ini dimaknai bahwa asas pemilu tidak saja Luber dan Jurdil akan tetapi pemilu dilaksanakan secara egisla lima tahun sekali.  Bahwa pelaksanaan pemilu yang dilaksanakan lima tahun sekali itu sebagai suatu peristiwa ketatanegaraan yang konstitusional harus dilaksanakan beriringan dengan asas Pemilu Luber dan Jurdil. Salah satu prasyarat negara demokrasi adalah adanya Pemllihan Umum yang dilakukan secara regular guna membentuk pemerintahan yang demokratis, bukan hanya demokratis dalam pembentukannya tetapl juga demokratis dalam menjalankan tugas- tugasnya. Pemerintahan demokratis, tidak saja pemerintahan yang secara prosedural dibentuk melalui mekanisme demokrasi seperti Pemilu, tetapi pemerintahan demokratis sebagaimana dikatakan cleh Robert Dahl adalah pemerintahan yang demokratis  terhadap preverensi-preverensi kepentingan-kepentingan rakyat, atau sebagaimana yang dikemukakan Diamond, Linzdan Upset, sistem pemerintahan yang memenuhi tiga syarat yakni : Kempetisi, PartisipasI politik dan Kebebasan sipil dan politik. Oleh karenanya, Pemllihan umum menjadi satu hal yang  rutin bagi sebuah negara yang mengklaim sebagai sebuah negara demokrasi. Pemilu sebagai sarana kedaulatan rakyat untuk menjembatani kepentingan rakyat disatu sisi dan kepentingan negara disisi yang lain. Dalam konteks demikian, timbul gagasan Hasyim bahwa pemilu sebagai musyawarah besar rakyat Indonesia. Jika kita analogikan dengan sebuah organisasi bahwa Musyawarah Besar (Mubes) bagi sebuah organisasi merupakan sebuah momen untuk mengevaluasi kegiatan organisasi sebelumnya dan juga merupakan momentum bagi terbentuknya kepengurusan yang selanjutnya dan akan menjalankan organisasi periode berikutnya. Negara yang dalam mengorganisasikan pemerintahan tergantung dan taat kepada seperangkat hukum dan prinsip-prinsip fundamental yang telah digariskan dalam konstitusi. Konstitusionalisme merupakan sebagian prasyarat dari demokrasi, karena demokrasi mengandaikan adanya sebuah pembatasan kewenangan dari kekuasaan yang diatur dalam sebuah perangkat hukum yang jelas. Pemilu sebagai musyawarah besar rakyat Indonesia dapat ditafsirkan sebagai sarana kedaulatan rakyat dalam memilih jabatan pemerintahan. Rakyat dengan pemilu mengevaluasi kinerja pemerintahan sebelumnya dan dengan pemilu membentuk serta menjalankan pemerintahan berikutnya. Penyelenggaraan pemilu di Indonesia merupakan pemilu terbesar di dunia. KPU sebagai penyelenggara pemilu pada pemilu 2019 telah mengelolah 187.781.884 pemilih, menata daerah pemilihan DPR 80 Dapil, DPD 34 Dapil, DPRD Provinsi 272 Dapil, DPRD Kab/kota 2,206 Dapil. Peserta pemilu 16  Partai Politik nasional dan 4 Partai Politik Lokal, dengan calon DPR berjumlah 8.068, Calon DPD 811. Dengan keadaan geografis wilayah Indonesia yang luas KPU menyelenggarakan hari pemungutan suara serentak di Indonesia  pada hari yang sama untuk memilih calon DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Pemilu serentak 2019 dengan 5 kotak suara dan 5 surat suara telah memberikan dinamika politik dan demokrasi bagi berlangsungnya pemerintahan di Indonesia. Disinilah lahirnya gagasan pemilu itu merupakan musyawarah besar rakyat Indonesia sebab selurah warga negara ikut serta berpertisipasi pada hari pemungutan suara pemilu. tercatat pada pemilu 2019 tingkat partisipasi pemilih untuk pemilihan legislatif  berjumlah 81,69% sedangkan untuk pemilihan Presiden dan wakil Presiden berjumlah 81,97%. Pemilu Arena Konflik Terlembagakan Pandangan  selajutrnya dari Hasyim Asy’ari adalah pemilu sebagai arena konstetasi dan arena konflik yang terlembagakan di Indonesia. Salah satu pilar pemilu adalah partai politik dan kandidat. Partai politik sebagai peserta pemilu  Lebih dari itu, pemilu sendiri lazim diikuti oleh partai politik. Pemilu 2024 nanti, partai politik tengah mempersiapkan diri untuk berkontestasi dalam pemilu 2024 guna mendapat suara di parlemen. Baik partai politik peserta pemilu yang memiliki kursi di parlemen, partai politik yang tidak mencapai ambang batas parlemen 4 % pada pemilu 2019 maupun partai politik baru yang dibentuk untuk menjadi peserta pemilu 2024. Konstitusi kita mengamanatkan partai politik untuk mengisi pos kekuasaan dalam pemerintahan. Misalnya dalam mengisi kursi DPR dan DPRD, hal itu diatur dalam Pasal 22E ayat. (2), (3) dan (4) UUD 1945. Pasal ini dimaknai bahwa peserta pemilu adalah partai politik, DPD sebagai perseorangan serta  Calon Presiden dan  Wakil Presiden. Peserta pemilu calon Presiden dan Wakil Presiden sebagimana ketentuan Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pasal  221 bahwa  Calon Presiden dan wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Pada ketentuan pasal 222 menyatakan bahwa Pasangan Calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memnuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya. Ketentuan ini mengamanakan bahwa peserta pemilu selain partai politik juga calon Presiden dan Wakil Presiden yang dicalonkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik. Dalam memilih pos pos kekuasaan tersebut, berpotensi adanya konflik legal yang terlembagakan dimana konstitusi menyiapkan sarana tersebut melalui badan badan peradilan dimana peserta pemilu dapat menyelesaikan sengketa hukum. Ada Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu, ada Bawaslu untuk menyelesaikan sengketa administrasi dan sengketa proses pemilu. Ada Peradilan Pidana untuk menyelesaikan adanya dugaan kejahatan pidana pemilu, ada pengadilan Tata Usaha Negara untuk menyelesaikan sengketa tata usaha negara pemilu. Badan badan peradilan ini disiapkan oleh negara sesuai ketentuan Undang Undang 7 Tahun 2017 tentang pemilu untuk penegakan hukum pemilu agar konflik pemilu dapat terlembagakan dan diselsaikan sesuai kerangka hukum pemilu. Pemilu dapat dikatakan aspiratif dan demokratis apabila pemilu  bersifat kompetitif, dalam artian peserta pemilu harus bebas dan otonom. Dalam kedudukannya sebagai pilar demokrasi, peran partai politik dalam sistem perpolitikan nasional merupakan wadah seleksi kepemimpinan nasional dan daerah. Pengalaman dalam rangkaian penyelenggaraan seleksi kepemimpinan nasional dan daerah melalui pemilu membuktikan keberhasilan partai politik sebagai pilar demokrasi. Peran partai politik telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi sistem perpolitikan nasional, terutama dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang dinamis dan sedang berubah. Jika kapasitas dan kinerja partai politik dapat ditingkatkan, maka hal ini akan berpengaruh besar terhadap peningkatan kualitas demokrasi dan kinerja sistem politik. Oleh karena itu, peran partai politik perlu ditingkatkan kapasitas, kualitas, dan kinerjanya agar dapat mewujudkan aspirasi dan kehendak rakyat dan meningkatkan kualitas demokrasi. Pemilu sebagai arena kontestasi dan arena konflik menurut Hasyim Asy’ari,  KPU harus menjadi majajer konflik yang berintegritas. Karena pemilu adalah konflik yang dianggap sah dan legal untuk meraih kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan, maka sesungguhnya KPU sebagai penyelenggara adalah manager konflik. Oleh karena itu, dilarang anggota KPU menjadi bagian faktor penyebab konflik, Pemilu 2024, KPU Melayani dengan Senyuman Tahapajn pemilu seremtak sesuai dengan ketentuan Peratiran KPU Nomor 3 Tahun 2024 tentang Program, Tahapan dan Jadwal Pemilu serentak 2024, hari pemungutan suara ditetapkan pada tanggal 14 Februari 2024. Ketentuan ini sebagai amanah dalam kewenangan atrbusi yang diberikan oleh KPU sebagaimana dalam Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 pasal 167, ayat (2) bahwa hari, tanggal dan pemungutan suara pemilu ditetapkan denga keputusan KPU. Frasa  kenetuan dalam Undang Undang ini mengamanahkan bahwa KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu diberi kewenangan untuk menetapkan waktu pelaksanaan Pemilu.   Menurut Hasyim bahwa KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu adalah pelayan pada 2  (dua ) pihak, melayani pemilih dan melayani peserta pemilu. Oleh karena karakter KPU sebagai lembaga layanan publik,maka para komisioner  KPU sehari-hari harus selalu  latihan tersenyum. Karena, Salah satu quality control sebagai  bentuk kualitas bekerja sebagai lembaga layanan itu selalu tersenyum walaupun mungkin partai politik sebagai peserta pemilu dan pemilih sering minta dokumen kepada KPU yang itu akan dijadikan gugatan kepada KPU tetap juga wajib dilayani.    Sebuah pelayanan tanpa senyum menjadikan pelayanan itu kehilangan makna. Senyum adalah bahasa universal; senyum adalah alat komunikasi yang paling menyatukan hati; Senyum adalah kekuatan yang sangat menentukan keberhasilan sebuah pelayanan. Senyum yang berkualitas dihasilkan dari hati yang ikhlas dan tulus melayani. Demikian filosofi senyuman yang wajib dimiliki oleh para pelayan publik untuk memastikan kinerja pelayanan kepemiluan dapat berjalan lancar, efektif dan efisien.   Pemilu serentak 2024 dengan berbagai problem kompleksitas setiap tahapannya ditemui akan banyak tantangan, maka pelayanan dengan senyuman menjadi parameter pelayanan publik dibidang kepemiluan untuk memastikan penyelenggaraan pemilu  berjalan dengan baik yang dilandasi nilai dasar organisasi KPU sebagai penyelenggara pemilu yang bersifat nasional,  mandiri dan Independen.   KPU, Pemilu Serentak  2024 dan Wujud Electoral Integrity Kehadiran organ organ baru negara dengan masing masing tugas dan kewenangannya setidaknya pasca amandemen konstitusi UUD 1945 tahu  2001, tidak terlpas dari ide dasar tentang pembatasan dan pembagian keuasaan dalam pelaksanaan tugas kekuasaan  negara.  Gagasan ini lahir dari gagasan demokrasi konstitusional  bagi negara negara moderen  yang menganut demokrasi sebagai suatu sistem penyelenggaraan pemerintahannya. Dalam konteks struktur ketatanegaraan KPU sebagai komisi negara disebut sebagai kembaga negara bantu (Auxilary State Organ) yang memabantu lembaga negara utama atau ( Primary Organ Constitutional State ) yakni Presiden dalam menjalankan tugas dan kewenangan dibidang demokrasi dan penyelenggaraan pemilu. namun demikian karekter kelembagaan KPU sebagai penyelenggara pemilu bersifat nasional, mandiri dan independen. Sebagaimana dalam UUD 1945 pasal 22E  ayat (5)  bahwa Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, mandiri dan independen. Pembentukan KPU merupakan bentuk restorasi lembaga independen dalam mewujdukan pemilu yang bebas dan adil ( Free and fair) di Indonesia. Meskipun KPU bersifat mandiri dan independen dalam penyelenggaraan pemilu juga tidak terlepas dati tantangan yang dihadapi dalam meujudkan demokrasi electoral yang berintegritas. Lembaga lembaga negara independen menurit Phlips J. Cooper (1998) telah mengingatkan besarnya tantangan yang akan dihadapi oleh negara dalam kaitan pemerintahannya seiring dengan perkembangan yang ada. Misalnya saja  diversity, decentralitation, democratitation, civil Socaety, accountability, transparency dan hi tech. Pemilu serentak  2024 dengan berbagai kompleksitas tantangan, mulai dari pengelolaan anggaran, menghadirkan kualitas data pemilih yang vaild dan komprehensif, verifikasi partai politik, pencalonan, tahapan kampanye, beratnya beban penyelenggara pemilu terutama badan adhoc pada hari pemungutan suara, adanya tahapan yang beririsan antara Pemilu dan Pilkada serentak serta etika penyelenggara pemilu. KPU harus menghadirkan pemilu serentak 2024 yang berintegritas dalam demokrasi electoral sebagai wujud lembaga penyelenggara pemilu yang mandiri dan independen.  Pemilu serentak 2024 yang demokratis setidaknya harus dihadirkan pada beberapa hal : 1). kerangka hukum yang beirsi penjabaran hukum pemilu yang demokratis. KPU harus memastikan bahwa regulasi yang dibuat dapat menjamin adanya keadilan electoral untuk melayni peserta pemilu dan pemilih. Adanya kesetaraan bagi warga negara untuk ikut serta dalam pemerintahan.  Hukum pemilu melalui Peraturan KPU dan regulasi lainnya dipastikan mengandung asas asas pemilu demokratis dan pemilu beritegritas.  2). Peserta pemilu yang patuh terhadap hukum pemilu. dalam pemilu prinsip bebas adil harus melingkupi praktek persaingan dari peserta pemilu yang demokartis dalam mendapatkan suara pemilih. Cara yang ditempuh peserta pemilu dalam mendapatkan suara pemilih tidak dengan cara intimidasi, ancaman kekerasan atau politik uang dengan cara jual beli suara pemilih. Peserta pemilu memiliki kebebasan dan kesempatan yang sama untuk meyakinkan pemilih melalui kampanye diseluruh daerah pemilihan. 3). Penyeleggara pemilu yang professional, kompoten, mandiri dan independen. KPU sebagai penyelenggara pemilu harus menghadirkan kinerja kepemiluan yang professional seuai dengan peraturan perundang undangan. KPU adalah lembaga negara yang diberikan wewenang untuk menyelenggarakan pemilu dengan bebrbagai tahapan proses pemilu. KPU memastikan dan menentukan siapa yang memenuhi syarat untuk menjadi pemilih dan memasukan kedalam Daftar Pemilih Tetap, menentukan peserta pemilu, menata daerah pemilihan sebagai arena kontestasi peserta pemilu, memastikan jaminan tahapan kampanye yang adil dan setara,  melakukan pemungutan dan penghitunag suara, pengadaan dan distribusi logisktik, penetapan hasil pemilu. Proses tahapan pemilu ini wajib dipastikan oleh KPU untuk dilaksaakan secara professional, mandiri dan independen. Tahapan pemungutan dan penghitungan suara dalam pemilu merupakan tahapan krusial sebab disinilah makna pemilu dihadirkan. Sebab suara pemilih akan dikonversikan menajdikursi di parlemen untuk menghitung siapa yang akan duduk menjadi anggaota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabuoaten Kota serta siapa yang akan terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden yang membntuk pemerintahan berikutnya. Dalam tahapan pemungutan suara KPU harus menjamin dan memastikan pengaturan pemberian suara yang aman dan nyaman, menjamin TPS aksesibel,  pemilih difabel, pemilih di Rumah Sakit, Pemilih di Tahanan dan Lapas dapat memilih tanpa halangan. Tidak ada pemilih yang memberikan suara lebih dari satu kali, menjamin rendahnya suara tidak sah dalam pemugutan suara pemilu serta menjamin pemunbgutan suara dilakukan secara rahasia tanpa diketahui oleh orang lain. 4). Pemilih merupakan salah satu komponen pilar pemilu yang demokartis.  Setidaknya pemilih yang beribtegritas memastikan dalam ikut beropatisaipasi dalam pemilu menjamin pemilih yang berdaulat dan bermartabat. Pemilih yang berintegritas adalah pemilihyang otonom dan mandiri dalam menentukan pilihannya tanpa adanya ancaman dan suap politik. Belajar dari pengalaman pemilu 2019, maka pemilu 2024 hendaknya dapat dilakukan dengan meminimalisir terhadap hambatan dan tantangan kompleksitas pemilu sehingga KPU memastikan dan menjamin bahwa pemilu 2024 diselenggarakan secara demokratis, berkualitas dari sisi proses dan hasil pemilu.  sehingga KPU, Bawaslu DKPP dan komponen lainnya termasuk peserta pemilu dan pemilih  dapat memberikan jamianan bahwa penyelenggaraan pemilu yang beritegritas dan bermartabat dapat diwujudkan.

OLEH : Bernad Dermawan Sutrisno, Sekjen KPU RI Bagi banyak pandangan, pendanaan Pemilu seringkali dianggap menguras keuangan Negara. Penyelenggaraan Pemilu (Presiden dan Legislatif) bersumber dari APBN, serta Pemilihan Kepala Daerah yang bersumber dari APBD, selalu menjadi momok yang diperbincangkan publik. Apalagi saat ini, ketika kondisi pandemik, maka anggaran Negara akan terfokus untuk mengatasi permasalahan kesehatan dan pemulihan ekonomi rakyat yang terimbas pandemik. Untuk mempersiapkan Pemilu dan Pemilihan serentak Tahun 2024, KPU telah mengajukan kebutuhan anggaran sebesar 76,6 Triliun Rupiah yang bersumber dari APBN dan 26,2 Triliun Rupiah dari APBD, atau total 102,8 Triliun Rupiah untuk 4 (empat) tahun anggaran 2022 sd 2025. Angka ini masih dianggap terlalu fantastis oleh berbagai pihak, ditengah kondisi keuangan Negara yang belum stabil mengatasi prioritas pembangunan nasional lainya. Namun, dalam perspektif yang berbeda, anggaran Penyelenggaran Pemilu mestinya dianggap sebagai sebuah investasi. Karena kegagalan penyelenggaran Pemilu akan berakibat pada resiko hancurnya tatanan kehidupan politik dan demokrasi Indonesia. Anggaran Negara yang telah digunakan untuk pembangunan diberbagi sektor, akan mengalami kerusakan ketika Pemilu gagal menghasilkan suksesi kepemimpinan nasional dan daerah yang legitimate. Ancaman konflik horizontal, dan pengakuan dunia internasional terhadap demokrasi Indonesia merupakan resiko gagalnya Pemilu di Indonesia. Resiko kerugian bangsa dan Negara Indonesia akan lebih besar nilainya, jika dibandingkan dengan jumlah anggaran yang akan alokasikan untuk penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan. Bahkan keutuhan dan eksistensi NKRI menjadi taruhan, ketika penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan seretak Tahun 2024 gagal. Padahal, semua progam pembangunan yang dilakukan saat ini adalah demi keutuhan NKRI. Menjadi ironis, ketika semua daya dan upaya pembangunan untuk integrasi bangsa, harus dipertaruhkan dengan resiko kegagalan demokrasi hanya karena kita mengabaikan investasi jangka panjang untuk keberlanjutan Indonesia sebagai sebuah Negara yang berdaulat. Strategi investasi Negara dalam pendanaan penyelenggaraan pemilu yang dilakukan KPU adalah melalui penguatan berbagai program prioritas nasional dalam aktivitas persiapan dan penyelenggaraan Pemilu. Sehingga anggaran penyelenggaran Pemilu 2024, tidak semata-mata hanya sebatas membiayai teknis penyelenggaraan Pemilu yang habis pakai, namun berkontribusi pada berbagai program prioritas nasional yang pada ujungnya merupakan investasi integrasi NKRI dalam jangka panjang. Pemulihan Ekonomi Nasional Salah satu focus anggaran Pemerintah disaat dan pasca pandemik Covid-19, adalah pemulihan ekonomi nasional, antara lain melalui peningkatan daya beli dan prokduktivitas rumah tangga. Upaya ini dilakukan melalui stimulus bantuan kepada masyarakat dan investasi padat karya. Dalam skema anggaran KPU untuk Pemilu dan Pemilihan 2024, juga merupakan bagian dari program prioritas pemulihan ekonomi nasional. Dari total anggaran penyelenggaran Pemilu dan Pemilihan 2024, tercatat 52 Triliun Rupiah dialokasikan untuk honor/gaji bagi sekitar 8 (delapan) juta orang aparatus KPU. Artinya, 51 % anggaran Pemilu dan Pemilihan kembali kepada masyarakat (Penyelenggara Pemilu dari pusat hingga desa/kelurahan dan TPS), dan menjadi bagian dari peningkatan daya beli dan prokduktivitas rumah tangga untuk 4 Tahun (2022, 2023, 2024 dan 2025). Selain alokasi 51 % anggaran kembali kepada masyarakat, penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan juga menstimulus usaha padat karya masyarakat kecil dan menengah, melalui aktivitas kepemiluan antara lain pencetakan, printing dan usaha lainya yang mendukung kampanye dan sosialisasi pemilu/pemilihan. Kesadaran Politik Masyarakat Peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia merupan program prioritas pembangunan Indonesia. Dalam pengagaran Pemilu, investasi sumber daya manusia juga merupakan bagian penting dengan menciptakan penyelenggara pemilu yang merupakan aparatus KPU sekitar 8 (delapan) juta orang yang memahami demokrasi sebagai intrumen integrasi bangsa. Selain itu, adanya aktivitas pendidikan politik kepada masyarakat yang dilakukan peserta pemilu baik Partai Politik, pasangan Calon Presiden/Wapres, Kepala Daerah/Wakada dan calon Anggota Legislatif, menjadi bagian penting dalam peningakatan kesadaran politik masyarakat. Peningkatan sumber daya manusia dalam pemilu merupakan investasi program peningkatan kapasitas untuk aparatus penyelenggara pemilu, masyarakat ataupun para calon pemimpin bangsa dalam hal pemilu dan demokrasi. Investasi sumber daya manusia ini pada dasarnya untuk membentuk karakter bangsa melalui masyarakat yang melek politik dengan baik dan benar. Teknologi Informasi Di era digitalisasi secara global saat ini, Pemerintah Indonesia melakukan berbagai program prioritas nasional yang terkait dengan tekhnologi informasi untuk mempercepat pelayanan publik dan transformasi ekonomi nasional. Program digitalisasi nasional melalui tekhnologi informasi dan komunikasi, dilaksanakan oleh semua sektor pembangunan. Tujuannya adalah agar masyarakat dan pemerintah cepat adaptif terhadap lingkungan global dalam berbagai sendi kehidupan. Dalam hal tekhnologi informasi, pendanaan penyelenggaran Pemilu 2024 menjadi bagian penting dan strategis. Selain mendorong infrastruktur tekhnologi informasi dan komunikasi kepemiluan diseluruh wilayah Indonesia, KPU juga berkontribusi dalam peningkatan kualitas kepercayaan publik terhadap kebijakan yang berbasis dari tekhnologi informasi. Setidaknya akan ada sekitar 1 (satu) juta titik TPS yang melakukan digitalisasi proses dan hasil Pemilu/Pemilihan, yang dioperasionalisasikan oleh 8 (delapan) juta orang aparatus KPU dalam waktu yang sama. Salah satu tantangan dalam adapatasi budaya digital ditengah masyarakat adalah kepercayaan publik. Oleh karenanya, KPU tidak hanya membangun sarana dan prasarana tekhnologi informasi yang dapat dimanfaatkan pasca Pemilu/Pemilihan, tetapi juga menciptakan budaya digital secara kolosal dalam pengambilan keputusan politik sebagai bagian pengejawantahan kedaulatan rakyat untuk memmperkuat integrasi bangsa. Pendapatan Negara Pendanaan untuk penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan Tahun 2024, juga merupakan bagian dari investasi keuangan Negara. Salah satu item anggaran Pemilu/Pemilihan adalah untuk Logistik Pemilu dan Pemilihan Tahun 2024. Dimana logistik Pemilu/Pemilihan menjadi Barang Milik Negara (BMN), yang tidak sepenuhnya barang habis pakai. BMN Logistik pemilu/pemilihan sebagian besar dapat dimanfaatkan kembali melalui mekanisme lelang pasca pemilu/pemilihan, sehingga menjadi bagian dari pendapatan keuangan Negara. Dalam catatan KPU hingga awal bulan November 2021, telah berkontribusi pada pendapatan keuangan Negara sekitar 200 Milyar Rupiah hasil lelang Logistik Pemilu 2019 dan Pemilihan 2020. Catatan pendapatan Negara ini belum seluruh Logistik Pemilu 2019 dan Pemilihan 2020 yang dilakukan lelang (sebagian sedang proses). Berangkat dari catatan – catatan singkat diatas, artinya anggaran penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan bukanlah anggaran yang habis pakai atau menghabur-hamburkan uang rakyat. Namun merupakan investasi yang dikeluarkan Negara untuk pengurangan risiko bencana demokrasi, sehingga dapat menyelamatkan aset yang bernilai lebih besar yakni integrasi bangsa dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

OLEH : SAHRAN RADEN Pendahuluan Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis kedudukan hukum ( Rechtspositie) KPU dalam membentuk suatu peraturan yang mengatur teknis pemilu. Meskipun semua orang telah mengetahui sebagaimana dalam Pasal 22 E UUD Tahun 1945 bahwa Pemilu dilaksanakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, mandiri dan independen. Ketentuan ini menegaskan bahwa kedudukan KPU sebagai penyelenggara pemilu memiliki kewenangan atribusi dan kewenangan delegatif dalam membentuk peraturan mengenai teknis pemilu sebagaimana yang diamanakan oleh Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.  Tulisan ini ingin menggambarkan dan menganalisis kedudukan hukum KPU dalam menetapkan Peraturan KPU menghadapi pemilu 2024 terutama penetapan hari pemungutan suara pemilu 2024.   Pemilu 2024 disadari merupakan pemilu yang sangat kompleks, penuh problem dan tantangan. Salah satu perdebatan krusial menjelang Pemilu 2024  yakni penetapan jadwal dan tahapan pemilu.   Perdebatan waktu atau jadwal pemilu 2024 meskipun menjadi kewenangan atribusi KPU, sebagaimana dalam ketentuan Pasal 167, ayat (2) Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menegaskan bahwa Hari, Tanggal dan waktu pemungutan suara pemilu ditetapkan degan keputusan KPU. Norma ini menegasikan bahwa terhadap jadwal yang berkaitan dengan hari, tanggal dan waktu pemungutan suara merupakan kewenangan delegatif peraturan perundang undangan  yang lahir dari kewenanagan atribusi bagi Komisi Pemilihan Umum dalam membentuk dan menetapkan keputusan KPU. Namun dalam penyusunan keputusan KPU tentu saja tidak berdiri sendiri meskipun KPU adalah suatu lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat mandiri dan independen, akan tetapi dalam menetapkan keputusan KPU  mempertimbangkan pendapat dan pandangan dari berbagai pihak sangat diperlukan.     Konstitusi dan Undang Undang mengamanatkan KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu berwenang untuk mengatur, penetapan jadwal dan tahapan pemilu.  Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang diberikan kewenangan atribusi dari Undang Undang untuk menetapkan jadwal pemilu. Komisi Pemilihan Umum memiliki kewenangan penuh untuk menentukan hari pemungutan suara dan tahapan dalam Pemilu 2024, seperti amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Alotnya perbedaan pandangan antara pemerintah, DPR, dan KPU membuat KPU tak kunjung menetapkan jadwal Pemilu 2024. Hal ini yang dinilai oleh berbagai pihak merupakan anomali karena KPU memiliki kewenangan berdasarkan undang-undang untuk menetapkannya.   KPU telah mengusulkan waktu pemungutan suara pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres) pada 21 Februari 2024 serta pemilihan kepala daerah (pilkada) pada 27 November 2024 kepada Tim Kerja Bersama yang sudah dibentuk sejak April 2021. Untuk durasi tahapannya, KPU mengusulkan seluruh tahapan berlangsung selama 25 bulan atau lebih lama daripada Pemilu 2019, yakni 20 bulan. Tim Kerja Bersama tersebut terdiri dari Komisi II DPR dan perwakilan Kementerian Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).   Salah satu pertimbangan KPU mengusulkan jadwal tersebut, yakni Pemilu 2024 akan berlangsung pada tahun yang sama dengan Pilkada Serentak 2024. Karena itu, butuh waktu yang cukup antara gelaran pemungutan suara pemilu dan pilkada. Penyelenggaraan pilkada serentak sudah dikunci oleh Undang-Undang Pilkada pada November 2024. Pemerintah menyetujui usulan pemungutan suara pilkada digelar pada November 2024 karena amanat UU Pilkada. Namun, pemerintah keberatan jadwal pemungutan suara pemilu yang diusulkan pada 21 Februari 2024. Sebab, jika diselenggarakan pada 21 Februari 2024, tahapan akan dimulai sejak Juni 2022. Hal tersebut dikhawatirkan akan berimbas pada stabilitas politik. Padahal, di 2022, pemerintah masih akan fokus pada pemulihan ekonomi dan pengendalian pandemi Covid-19. Pemerintah lantas mengusulkan tiga alternatif jadwal pemungutan suara pemilu, yakni 24 April, 8 Mei, dan 15 Mei yang kemudian mengerucut pada 15 Mei 2024. Dengan usulan itu, tahapan pemilu baru dimulai pada 2023. Pemerintah juga memiliki waktu untuk menanggulangi pandemi dan pemulihan ekonomi pada 2022.    Isu Krusial dan Kompleksitas Pemilu 2024 Pemilu yang akan dilaksanakan pada tahun 2024 dinilai merupakan pemilu yang sangat kompleks. Kompleksitas tersebut dikarenakan Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidaklah direvisi,  Artinya Pemilu  2024 masih menggunakan undang undang yang sama.  Pemilu 2019 menjadi catatan penting dalam perjalanan dPemilu Indonesia dan menjadi evaluasi bagi pelaksanaan pemilu 2024. Keserentakan Pemilu  melalui Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 14/ PUU-XI/2013 tanggal 24 Januari 2014, yang memerintahkan penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden serentak pada Pemilu 2019, maka landasan pemilu 2019 diatur lebih dalam lanjut ketentuannya di dalam Undang Undang  Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Ketentuan mengenai UU Pemilu tadi dijabarkan lebih lanjut dalam beberapa aturan operasional di tingkat kelembagaan penyelenggaranya, utamanya adalah melalui peraturan KPU (PKPU) dan peraturan Bawaslu (Per Bawaslu). Keserentakan pemilu 2019 baik terhadap Pileg dan P ilpres dianggap dapat semakin memperkuat sistem presidensil sebagaimana dianut oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.  Pemilu serentak hadir sebagai konsekuensi Putusan Mahkamah Konstitusi 14/PUU- XI/2013 yang mengubah waktu penyelenggaran pemilu presiden dan legislatif yang pada awalnya terpisah menjadi diselenggarakan pada waktu yang bersamaan. Merujuk pada pendapat Mahkamah Konstitusi bahwa  terdapat dua latar belakang dibalik kehadiran pemilu serentak yakni Pertama, Mempertegas sistem pemerintahan presidensial, terutama posisi Presiden sebagai single chief executive dan meminimalisir terciptanya koalisi partai pengusung presiden yang bersifat taktis dan sesaat, melainkan jangka panjang dalam rangka penyederhanaan partai politik. Kedua Efisiensi penyelenggaraan pemilu dari segi anggaran, waktu, dan hak warga negara untuk memilih secara cerdas. Check and balances dalam pemerintahan presidensil salah satunya dapat ditunjang melalui penggunaan hak pilih secara cerdas dan efisien sesuai keyakinan sendiri, untuk itu warga negara dapat mempertimbangkan secara mandiri mengenai penggunaan pilihan untuk memilih anggota DPR dan DPRD yang berasal dari partai yang sama dengan calon presiden dan wakil presiden.    Pada Pemilu 2019 itu, merupakan pemilu yang memiliki kompleksitas dan persoalan persolan baik teknis pemilu maupun kerangka hukum pemilu.  Indonesia mengadakan pemilihan langsung terbesar satu hari yang pernah ada di dunia, dengan lebih dari 80 persen dari 193 juta pemilih yang memenuhi syarat telah memilih di lebih dari 800.000 tempat pemungutan suara yang tersebar di seluruh Indonesia. Untuk pertama kalinya, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR dan DPRD serta Dewan Perwakilan Daerah   semuanya berlangsung serentak pada satu hari. Ini adalah upaya demokrasi besar-besaran yang menentukan identitas masa depan negara yang luas dan beragam. Sekitar 245.000 kandidat mencalonkan diri untuk lebih dari 20.000 kursi legislatif nasional dan lokal yang terdiri dari sekitar 18.000 pulau dan mencakup 1,9 juta km persegi. Kompleksitas persoalan Pemilu 2019 terutama berkaitan dengan Daftar Pemilih Tetap yang menjadi masalah berulang dalam setiap pemilu. Permasalahan pemilih ganda, dan sejumlah permasalahan daftar pemilih menjadi persolan krusial dalam menghadirkan data pemilih yang akurat, valid dan komprehensif. Kewajiban  e-KTP  berkontribusi  pada  penetapan  DPT  berlarut.   Masalah selajutnya adalah berkaitan dengan tahapan kampanye pemilu yang bersamaan dengan kampanye pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu Legislatif ( DPR, DPD dan DPRD ). Pengalaman pemilu 2019, dominasi Calon Presiden dan wakil Presiden begitu sangat dominan dalam materi visi dan misi kampanye. Hal ini telah berdampak menyulitkan  pemilih untuk mengetahui visi, misi dan program partai politik dan calonnya sehingga memilih lebih cendrung mengetahui Visi, Misi dan Program Calon Presiden dan Wakil Presiden. Para calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota perlu menguasai visi, misi dan Program Calon Presiden yang direlevansikan dengan Visi, Misi dan Parogram Partai Politik. Isu berikutnya terkait dengan Coattail effect atau efek bawan terhadap vote share yang didapatkan oleh partai politik pengusung presiden di pemilu legislative tidak lah signifikan. Berdasarkan temuan Perludem Coattail effect tidak signifikan terjadi pada level DPR RI dengan vote share tertinggi dari coattail effect 2-4% kenaikan dari Pemilu 2014 lalu. Secara koalisi partai pemenang presiden mendapatkan mayoritas kursi DPR yang bisa jadi tidak disebabkan oleh coattail effect melainkan jumlah partai koalisi yang banyak namun tidak ada yang berubah dari sistem kepartaian. Disertakannya pemilu DPRD bisa jadi salah satu penyebab dari coattail effect yang tidak signifikan karena membagi fokus perhatian pemilih. Pemilih fokus pada pemilu presiden dan besaran alokasi kursi besar ditengah district magnitude besar membingungkan pemilih. Selanjutnya Larangan bagi penyelenggara pemilu yang telah dua kali menjadi KPPS, honor yang sedikit, beban yang berat, dan polarisasi   politik   menyebabkan   sedikit   orang mendaftar sebagai KPPS.  Bimtek  tidak  maksimal  akibat  terlalu  banyak  jumlah KPPS yang mesti dilatih. Banyak ditemukan pelanggaran KPPS oleh Bawaslu.  Serta banyaknya KPPS yang meninggal dunia akibat beban kerja yang berat dengan pemilu 5 kotak suara. Pemilu  Serentak  menyebabkan  kompleksitas  dalam  distribusi surat  suara.  Terdapat  2.593  desain  surat  suara  yang  harus didistribusikan. Termasuk logistic untuk 650 TPS tambahan yang logistiknya harus disiapkan H-7 hari pemungutan suara.  Silog  belum  didesain  sebagai  platform  untuk  meringkas  rantai komunikasi   antara   penyelenggara   pemilu   dengan   produsen logistik. Isu krusial berikutya adanya tahapan yang beririisan antara tahapan pemilu dan tahapan pemilihan serentak 2024. Pelaksanaan tahapan Pemilu Serentak 2024 mendasarkan UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10/2016 berkaitan Pemilhan Gubernur, Bupati dan Wali Kota perlu dilakukan simulasi sehingga dapat dilakukan secara beririsan dan proporsional dengan mempertimbangkan ketentuan bahwa Pemilu serentak diatur dalam Pasal 167 ayat 2, 3, 6, dan 7 pada UU 7/2017 yaitu (2) Hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara pemilu ditetapkan dengan keputusan KPU, (3) Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional, (6) Tahapan Penyelenggaraan pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimulai paling lambat 20 (dua puluh) bulan sebelum hari pemungutan suara dan (7) Penetapan Pasangan calon terpilih paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum berakhirnya masa jabatan presiden dan Wakil Presiden. Sementara Pemilihan serentak diatur dalam Pasal 201 ayat 8 UU 10/2016 tentang Pemilihan yaitu (8) Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia  dilaksanakan  pada  bulan  November 2024. Pada konteks ini timbulnya kompleksitas atas tahapan yang beririsan dalam penyelenggraan pemilu dan pemilihan yang berakibat beban kerja penyelenggara pemilu semakin besar.   Kedudukan Hukum KPU Dalam Menetapkan Jadwal Pemilu Indonesia merupakan negara hukum yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental. Salah satu ciri utamanya adalah pentingnya peraturan perundang undangan tertulis atau statutory laws atau statutory legislation. Namun sebagai suatu tata hukum peraturan perundang undangan secara komprehensif harus konsisten dengan hirarkis yang berpangkal dari UUD 1945 sebagai hukum dasar yang meligitimasi tata urutan perundang undangan dibawahnya sebagai suatu keseluruhan tata hukum. Dalam konteks demikian menurut Hans Kelsen disebut sebagai hierarchy of norm ( Stufenbau des recht ) norma hukum itu berjenjang  dan berlapis lapis dalam suatu susunan hierarkis dimana norma yang dibawahnya berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Ajaran hierarki peraturan perundang undangan tersebut  mengandung prinisip salah satunya adalah peraturan perundang undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi Salah satu norma hierarki peraturan perundang undangan adalah Peraturan KPU sebagai tata urutan perundang undangan yang didelegasikan melalui Undang Undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Bahwa Peraturan KPU memiliki norma khusus yang mengatur tentang teknis pemilu. Norma hukum ini berisi tentang aturan yang menjadi panduan bagi penyelenggara pemilu, partai politik peserta pemilu dan pemilih dalam menjalankan aktivitas kepemiluan. Aturan dalam norma hukum sifatnya harus dipatuhi, dimana artinya norma tersebut mengikat kepada setiap warga negara yang berada dalam wilayah negara tertentu. Hal ini bisa bersifat mengikat karena norma hukum juga memiliki kekuatan.   Sesuai ketentuan Undang Undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, bahwa tahapan  penyelenggaraan pemilu meliputi ; perencanaan program dan anggaran serta penyusunan peratiran pelaksanaan penyelenggaraan pemilu, pemutakhiran data pemilih, pendaftaran dan verifikasi partai politik peserta pemilu, penetapan peserta pemilui, penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan, Pencalonan Presiden dan wakil Presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, masa kampanye pemilu, Masa tenang, pemungutan dan penghitungan suara, penetapan hasil pemilu dan pengucapan sumpah janji.    Dalam ketentuan Pasal 167 ayat (6) Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ditegaskan  bahwa Tahapan penyelenggaraan pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (4)  dimulai paling lambat 20 (dua puluh ) builan sebelum hari pemungutan suara. Selanjutnya ditegaskan dalam ayat (8) bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai rincian tahapan penyelenggaraan pemilu sebagaimana pada ayat (4) dan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) di atur dengan peraturan KPU.    Berdasarkan ketentuan norma di atas, bahwa dalam menetapkan pelaksanaan pemilu termasuk waktu  pemungutan suara merupakan kewenangan yang diberikan oleh Undang Undang kepada Komisi Pemilihan Umum.  Dalam konteks hukum administrasi bahwa  kedudukan hukum  ( Rechtspositie ) KPU diberikan kewenangan untuk membentuk Peraturan delegasi terhadap jadwal dan tahapan pemilu 2024. Peraturan delegasi merupakan peraturan yang dibentuk karena ada delegasi kewenangan mengatur dari Undang-Undang. Produk hukum yang dibentuk berdasarkan delegasi wewenang itulah yang disebut secondary legislation, karena pembentukannya sangat bergantung pada Undang-Undang sebagai primary legislation. Peraturan perundang-undangan merupakan peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan. Suatu Undang-Undang lazim mendelegasikan pengaturan lebih lanjut substansi tertentu ke dalam Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), atau jenis peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih rendah. Biasanya, yang didelegasikan adalah aturan lebih teknis dan detil. Peraturan delegasi itu akan sangat menentukan implementasi Undang-Undang rujukannya.  Terhadap pengaturan secara detail dalam tahapan penyelenggaraan pemilu termasuk didalamnya hari pemungutan suara dalam Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 pasal 167 ayat (8)  mengatur norma kewenangan delegatif untuk mengatur susbtansi peraturan yang lebih rendah dari Undang Undang yakni Peraturan KPU.  Salah satu meta norma dalam Peraturan perundang undangan adalah Norma kewenangan yakni norma yang menetapkan oleh siapa dan dengan melalui prosedur yang mana norma perilaku ditetapkan dan bagaimana norma perilaku ditetapkan dan bagaimana norma perilaku harus diterapkan.   Komisi Pemilihan Umum dalam mengatur tahapan pemilu yang diatur melalui Peraturan KPU sebagaimana dalam konteks hukum administrasi negara dapat disebut bahwa KPU memiliki kewenangan atribusi.  Pelimpahan Kewenangan Atribusi adalah pemberian kewenangan membentuk Peraturan Perundang-undangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang kepada suatu Lembaga Negara atau pemerintahan.  H.D Van Wijk dan Willem Konijnenbelt ( Ridwan HR. 2006) menyebutkan bahwa Atributie; toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een bestuursorggan. Bahwa atrribusi menurut H.D Van Wijk adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat Undang Undang kepada organ pemerintahan.  Selajutnya J.G Steenbeek, menuliskan bahwa hanya ada dua cara organ pemerintahan menerima wewenang yakni melalui  atribusi dan delegasi.  Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada oleh organ yang telah mempunyai wewenang secara atributif kepada organ lain. Jadi kewenangan delegasi secara logis selalu didahului oleh kewenangan atribusi.  Dengan demikian, membentuk peraturan KPU merupakan kewenangan delegatif KPU sedangkan KPU sendiri merupakan lembaga penyelenggara pemilu yang diberikan kewenangan atribusi yang bersumber  dari Undang Undang 7 Tahun 2017  untuk menetapkan jadwal tahapan pemilu termasuk waktu dan hari serta tanggal pemungutan suara pemilu.       Normatifnya, berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, materi muatan Peraturan KPU adalah materi untuk menjalankan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 sebagaimana mestinya. Ketentuan ini tidak memberikan batasan yang jelas bagaimana menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Peraturan delegasi yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dapat dibatalkan.   Berdasarkan pemilkiran tersebut, menegaskan bahwa hari dan tanggal pemungutan suara pemilu 2024, merupakan kewenangan atribusi dan sekaligus sebagai kewenangan delegatif KPU yang bersumber dari Undang Undang 7 Tahun 2017 untuk menetapkan  hari, tanggal pemungutan suara dan juga semua tahapan penyelenggaraan pemilu 2024. Meskipun KPU melibatkan berbagai pihak, berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah berkaitan dengan norma pengaturan hari pemungutan suara pemilu 2024,akan tetapi kewenangan untuk menetapkan jadwal hari dan tanggal pemungutan suara merupakan kewenangan dari KPU.   Kontrol Preventif Kewenangan Delegatif Negara hukum memiliki korelasi antara konstitusi dan peraturan perundang undangan dengan kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi penyelenggara negara itu harus bertumpuh pada partisipasi dan kepentingan rakyat. Dengan demikan, negara hukum yang ditopang dengan sistem demokrasi konstitusional didalamnya mengakomodasi prinsip prinsip negara hukum seperti asas legalitas, perlindungan hak asasi manusia, pemerintahan yang terikat dengan hukum, pengawasan oleh hukum yang merdeka serta pengawasan kontrol pemerintahan.   Dalam konteks politik hukum bahwa suatu peraturan perundang undangan yang dibentuk melalui suatu proses kebijakan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.  Sejalan dengan presfektif tersebut tentu saja bahwa perumusan suatu peraturan perundang undangan termasuk Peraturan KPU tidak terlepas dari kebijakan pemerintahan negara hukum yang melingkupinya, baik pengaruh ekonomi, politik kekuasaan maupun budaya masyarakat.  Presfektif inilah yang selajutnya menjadi alasan perdebatan panjang dalam menetapkan peraturan KPU terkait dengan jadwal, tahapan Pemilu 2024.   Meskipun suatu lembaga pemerintahan diberikan kewenangan atribusi dan kewenangan  delegatif dalam membentuk suatu peraturan, namun dalam konteks negara hukum kewenangan itu perlu dikontrol agar tidak menimbulkan kesewenangan.  Oleh karena itu, Moh. Fadli mengusulkan perlunya menjalankan kontrol preventif terhadap peraturan delegasi. Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Fadli memaparkan kontrol preventif merupakan pembatasan yang bertujuan untuk mencegah norma dalam peraturan yang bersifat eksesif, melampui kewenangan, atau inkonsisten dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Tujuannya agar peraturan  yang paling rendah  hanya mengatur sebatas yang didelegasikan oleh Undang-Undang, sehingga validitasnya terjamin.   Kontrol preventif ini menjadi sangat semakin penting dalam pengaturan yang berkenaan dengan pemilu seiring semakin kompleksnya persoalan pemilu 2024 yang akan  dihadapi. Peraturan delegasi,  berupa Peraturan KPU sebagaimana amanah Undang Undang 7 Tahun 2017 dibutuhkan untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi dalam komplesitasnya pemilu 2024 yang  membutuhkan penyelesaian dalam waktu relatif cepat. Tidak mungkin mengatur semua masalah dengan Undang-Undang. Peraturan delegasi merupakan peraturan yang dibentuk karena ada delegasi kewenangan mengatur dari Undang-Undang. Produk hukum yang dibentuk berdasarkan delegasi wewenang itulah yang disebut secondary legislation, karena pembentukannya sangat bergantung pada Undang-Undang sebagai primary legislation. Kontrol  preventif sebagai suatu mekanisme penyusunan dalam peraturan perundang undangan termasuk Peraturan KPU sebagai  langkah pencegahan atas peraturan delegasi yang tidak mengandung potensi penyimpangan, ultra vires, atau penyalahgunaan wewenang.  Peratiuran delegasi menurut Fadli hanyalah merupakan prinsip amanah, yaitu membentuk peraturan delegasi sebagaimana yang diamanahkan oleh Undang Undang.   Dalam rangka untuk mewujudkan hukum yang responsif dan partisipatif maka KPU dalam menyusun Peraturan KPU sebagai kewenangan  delegatif maka tentu saja KPU perlu membahasnya dengan berbagai pihak.  KPU berkonsultasi dengan  DPR dan Pemerintah serta melibatkan pihak pihak lain dalam menyusun Peraturan KPU termasuk norma yang mengatur jadwal hari dan tanggal pemungutan suara.  Sebagaimana dalam ketentuan Pasal 75 ayat (4) Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ditegaskan bahwa dalam hal KPU membentuk Peraturan KPU yang berkaitan dengan pelaksanaan tahapan Pemilu , KPU wajib berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah melalui rapat dengar pendapat. Disinilah mekanisme kontrol preventif terhadap peraturan KPU  sebagai norma delegatif dalam pembentukan peraturan KPU yang mengatur teknis dan tata cara pemilu.   *Penulis adalah Anggota KPU Provinsi Sulawesi Tengah Periode 2018-2023